JAKARTA, investortrust.id – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok sebanyak 7,54% dalam lima hari terakhir. Sejumlah pihak terus mencari penyebab di balik fenomena demamnya IHSG yang terus bergerak ke zona merah.
Pengamat Pasar Modal Hans Kwee memperkirakan, penurunan IHSG yang cukup lama akibat juga dipicu kekecewaan pelaku pasar terhadap kebijakan Trump. Mereka sempat mengira, Trump akan menunda ancaman perang dagang yang telah disuarakan sejak pemilihan presiden.
Pasalnya, saat Trump dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS), tidak ada penandatanganan penaikan tarif bea masuk untuk produk impor dari negara mana pun.
Baca Juga
“Jadi sempat delay, waktu Trump dilantik pada 20 Januari 2025, pasar ketar-ketir. Begitu dilantik, Trump adem ayem, market positif dulu. Kemudian 1 Februari 2025 dia mulai perang dagang dengan mengancam (kenaikan tarif bagi) Kanada, Meksiko, China tetapi langsung ditarik lagi,” jelas Hans dalam Focus Group Discussion (FGD) Best Stock Awards 2025 bersama Investortrust.id, Selasa (11/2/2025).

Saat tarik ulur regulasi kenaikan tarif dagang tersebut, Hans memandang pelaku pasar yang menanamkan modal di Indonesia belum menunjukkan kekhawatiran. Namun saat Trump menyebut, belum ada urgensi untuk berbicara dengan Xi Jinping terkait perang dagang mereka, pasar merespons negatif.
Selanjutnya di akhir pekan tanggal 1-2 Februari, Trump mengancam lagi, akan mengenakan tarif untuk berbagai negara. Awal pekan berikutnya, sekira tanggal 10 Februari, Trump langsung menandatangani perintah eksekutif untuk mengenakan tarif sebesar 25% pada impor baja dan aluminium. Pasar modal Indonesia pun semakin merespons negatif.
Baca Juga
Net Sell Rp 469,46 Miliar, Asing Lepas Sejumlah Saham Berikut
“Tetapi kita juga harus menangkap, ada yang berubah. Global market turun tetapi ada yang rebound sedangkan kita (Indonesia) terus turun. Kita harus tangkap bahwa sebenarnya ada ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang seharusnya tidak seperti itu,” tegas Hans.
Industri Bank
Menurut dia, sentimen dari dalam negeri juga tak kalah dominan dalam memengaruhi pergerakan IHSG akhir-akhir ini. Dicontohkan bahwa ada sejumlah bank besar yang baru saja merilis laporan keuangannya untuk kinerja tahun 2024.
Bank-bank tersebut menunjukkan rasio jumlah kredit dengan total dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) di atas 90%. Artinya sisa DPK untuk memperlebar penyaluran kredit terbilang sempit.
“Pasar menangkap sinyal bahwa kalau bank besar LDR-nya 90 lebih, ini kemungkinan menunjukan likuiditas nasional yang ketat. Artinya ke depan bank sulit ekspansi kredit kecuali dia menarik dana pihak ketiga lebih banyak. Padahal cost of fund sedang tinggi karena suku bunga. Itu sinyal pertama yang tertangkap sehingga ada tekanan pada saham perbankan,” papar Hans.
Baca Juga
Saham Indosat (ISAT) ‘Babak Belur’ Usai Rilis Kinerja Keuangan di Bawah Ekspektasi
Dia juga menambahkan, pelemahan harga sejumlah emiten berkapitalisasi pasar besar dari suatu grup konglomerasi ikut menambah beban IHSG. Sebab, saham-saham yang memiliki bobot berat di IHSG tersebut gagal masuk indeks MSCI.
“Kadang Indonesia itu masalahnya banyak pelaku pasar pakai margin. Jadi saat saham ARB (auto reject bawah) for sale terjadi dan mungkin menyenggol saham lain yang ada dalam portofolio mereka,” pungkasnya.